Film Review: The Princess (2022): Tidak Ada Pangeran

Film Review: The Princess (2022): Tidak Ada Pangeran



Film The Princess (2022), yang disutradarai oleh Le-Van Kiet dan dibintangi oleh Joey King, menawarkan pendekatan segar terhadap narasi klasik tentang perempuan dalam kisah dongeng. Berbeda dari banyak cerita tradisional yang menggambarkan putri sebagai sosok yang pasif dan menunggu penyelamatan, film ini menghadirkan karakter utama yang berjuang sendiri untuk kebebasannya.

Meskipun dari segi sinematik film ini lebih menonjolkan adegan aksi ketimbang pengembangan naratif yang kompleks, The Princess memiliki nilai filosofis yang menarik, terutama dalam mengangkat isu kemandirian perempuan. Film ini menyiratkan sebuah pesan yang kuat: orang yang paling bisa diandalkan untuk menyelamatkan kita adalah diri kita sendiri.

Aku rasa The Princess punya konsep yang menarik, terutama karena mengubah stereotip putri dalam dongeng. Biasanya, putri dalam cerita klasik digambarkan sebagai sosok yang harus diselamatkan, tapi di film ini justru dia yang bertarung dan menyelamatkan dirinya sendiri.

Jujur, diawal aku sendiri membayangkan sosok pangeran yang akan datang menyelamatkan kerajaan dalam The Princess. Namun, seiring berjalannya cerita, aku mulai menyadari bahwa film ini membawa aku pada pemahaman yang lebih dalam: seorang perempuan, meskipun dipandang sebelah mata, mampu menyelamatkan dirinya sendiri dan kerajaan yang terancam. Film ini secara halus menantang persepsi tradisional tentang perempuan yang selalu bergantung pada bantuan laki-laki untuk menyelesaikan masalah besar.

Tapi kalau dibandingkan dengan film aksi lain, plotnya cukup sederhana dan terasa repetitif di beberapa bagian. Beberapa adegan juga terasa agak terlalu teatrikal, seperti ingin menunjukkan bahwa putrinya badass, tapi kurang membangun cerita yang lebih dalam. Meskipun begitu, kalau dinikmati sebagai film aksi ringan tanpa ekspektasi terlalu tinggi, ini cukup menghibur.

Dalam banyak kisah klasik, perempuan sering kali dikonstruksikan sebagai “damsel in distress”—tokoh yang harus diselamatkan oleh seorang pria. Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex (1949) mengkritik bagaimana perempuan sering ditempatkan dalam posisi pasif dalam sistem patriarki. Menurutnya, perempuan sejak kecil dibentuk untuk percaya bahwa mereka membutuhkan laki-laki sebagai penyelamat dan pemimpin dalam kehidupan mereka.

Namun, The Princess melawan gagasan ini dengan menghadirkan protagonis yang tidak hanya bertahan, tetapi juga melawan penindasan secara aktif. Alih-alih menunggu seorang pangeran, putri dalam film ini berusaha keluar dari situasi sulitnya dengan kekuatan dan kecerdikannya sendiri. Ini merupakan representasi dari konsep agency, di mana perempuan memiliki kapasitas untuk bertindak secara independen dan menentukan jalannya sendiri.

Dalam kehidupan nyata, banyak perempuan yang masih menghadapi tantangan dalam mengambil kendali atas hidup mereka sendiri. Mary Wollstonecraft, dalam A Vindication of the Rights of Woman (1792), menyatakan bahwa perempuan harus memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuan dan keberanian mereka, bukan hanya diajarkan untuk tunduk dan bergantung pada laki-laki.

Pesan ini relevan dalam konteks modern. Banyak perempuan yang menghadapi dilema dalam karier, pendidikan, maupun hubungan pribadi, di mana mereka merasa perlu “diselamatkan” atau menunggu persetujuan orang lain sebelum bertindak. The Princess secara simbolis mengingatkan bahwa perempuan memiliki kapasitas untuk bertahan, berkembang, dan berjuang demi kebaikan dirinya sendiri.

Secara keseluruhan, The Princess mungkin bukan film yang memiliki kompleksitas cerita yang mendalam, tetapi ia menghadirkan pesan yang kuat tentang kemandirian perempuan. Dengan menghilangkan peran “pangeran penyelamat” dan menggantikannya dengan seorang putri yang berjuang sendiri, film ini mengajak penonton untuk mempertanyakan kembali stereotip lama tentang perempuan dalam narasi populer.

Apa yang lebih menyentuh adalah momen di akhir film, saat sang ayah meminta orang-orang membunyikan lonceng sebagai simbol kelahiran kembali—bukan kelahiran anak laki-laki, tetapi kelahiran seorang perempuan sebagai calon pemimpin kerajaan. Momen ini sangat emosional karena menegaskan bahwa kepemimpinan dan kekuatan bukanlah hak eksklusif laki-laki, dan perempuan pun memiliki kapasitas untuk memimpin dengan bijaksana dan adil.

Film ini juga memberikan refleksi penting bahwa kemandirian bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang mengambil tindakan untuk menentukan arah hidup sendiri. Seperti yang ditunjukkan dalam film ini, perempuan tidak perlu menunggu seseorang datang menyelamatkan mereka—karena mereka mampu menyelamatkan diri mereka sendiri.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekomendasi Rute Perjalanan ke Banda Neira: Jakarta, Cirebon, Surabaya, Banda Neira

Refleksi Diri dalam Musik Novo Amor: Spiritual Journey Through New Love

Rekomendasi Rute Perjalanan dari Banda Neira ke Pulau Jawa

Melankoli dalam Hening: Menyelami Kenangan Bersama Cigarettes After Sex

Apakah ‘Aku Memang Begini’ Sudah Cukup Alasan untuk Tidak Berubah?

Pesta di Kepala, Tuhan di Pinggir: Membaca Hidup dalam Puisi Jazuli Imam

Mental Health - End The Stigma black magic: Potret Minimnya Literasi Kritis di Tengah Masyarakat Modern