Pesta di Kepala, Tuhan di Pinggir: Membaca Hidup dalam Puisi Jazuli Imam

Pesta di Kepala, Tuhan di Pinggir: Membaca Hidup dalam Puisi Jazuli Imam

https://i.pinimg.com


                                                                SESAK                                                                                                            

Bukankah pikiranku adalah kemerdekaanku? Tapi kenapa keluarga, kerabat dan saudara bisa menggelar pesta di kepalaku? Bahkan, tanpa mengundangku!

“Cinta,” kata Tuhan sambil turut duduk dan memasang wajah, yang kurasa itu wajah andalannya, tak berdosa.

Di sana; orang-orang terlalu serius, sisanya tidak lucu. Mereka semua bunuh diri sebab tak bisa menunaikan hidup yang senda gurau. Tuhan menimbun mereka di satu tempat. Aku dibawah mereka semua, mencari celah untuk bernapas.

Jazuli Imam

Yk, Januari 2018


Dalam bait pembuka puisi ini, aku langsung ngerasa—ini sih bukan cuma soal kata-kata indah. Jazuli Imam menyodorkan sesuatu yang kelihatannya sederhana, tapi begitu dibaca ulang, ternyata menyimpan letupan batin yang ruwet banget. Ia mempertanyakan tentang wilayah paling pribadi manusia—pikiran—yang ternyata tak luput dari intervensi sosial. Seolah-olah kepala sendiri bukan lagi ruang aman malah berubah jadi tempat yang gak sepenuhnya kita miliki. 

Puisi ini menggambarkan kegelisahan seseorang yang tidak lagi mampu membedakan mana suara dirinya dan mana suara yang ditanamkan oleh orang lain. Ini adalah bentuk dari intrusi mental, kondisi ketika individu merasa pikirannya “dikuasai” oleh norma, harapan, dan tekanan sosial—bahkan oleh mereka yang merasa mencintainya. 

Pernyataan “menggelar pesta di kepalaku” adalah metafora akan kebisingan mental, seperti burnout emosional atau depresi eksistensial—keadaan ketika individu merasa tidak lagi hidup atas kehendaknya sendiri, namun menjadi boneka dalam narasi orang lain. Terlebih ketika “pesta” itu berlangsung tanpa diundang, tanpa izin—sebuah gambaran tentang betapa minimnya ruang untuk mengatur hidup sendiri. Sebuah ilustrasi tentang betapa minimnya ruang otonomi yang tersisa. 

Puisi ini mengkritik budaya kolektivistik yang terlalu jauh masuk ke ranah privat seseorang. Di banyak masyarakat, terutama dalam konteks Asia seperti Indonesia, keluarga dan kerabat memiliki posisi dominan dalam membentuk pilihan hidup seseorang. Norma sosial seringkali tidak hanya mengatur tindakan luar, tapi juga cara berpikir dan merasa. Dalam puisi ini, kepala—sebagai simbol pikiran dan kesadaran—telah berubah menjadi panggung sosial, tempat nilai-nilai tradisional merajalela. 

Ada paradoks yang menyesakkan: cinta yang diklaim datang dari keluarga dan Tuhan justru menjelma menjadi jerat. Cinta bukan lagi ruang aman, melainkan alat kontrol. Dalam masyarakat seperti ini, individu tidak benar-benar memiliki ruang untuk menjadi "diri sendiri", karena sejak kecil sudah dilatih untuk menjadi “orang lain yang disukai.” 

Lebih dalam lagi, puisi ini mengandung pergulatan eksistensial yang nyata. Ketika Tuhan duduk dan mengatakan “cinta” dengan wajah tak berdosa, pembaca diajak untuk mempertanyakan posisi Tuhan dalam kehidupan yang absurd. Apakah Tuhan benar-benar hadir? Ataukah kehadiran-Nya hanya simbolik, dinarasikan dalam bentuk cinta yang sudah terdistorsi oleh tafsir sosial? 

Kalimat “mereka semua bunuh diri sebab tak bisa menunaikan hidup yang senda gurau” memperlihatkan absurditas eksistensial. Bahwa hidup itu seharusnya bisa dinikmati, bisa ditertawakan, tapi sistem dan norma menjadikannya terlalu serius, terlalu berat, terlalu penuh beban. Di sinilah pemikiran Albert Camus terasa relevan: manusia ingin hidup bermakna dalam dunia yang absurd, namun makna itu terus-menerus digerus oleh sistem yang tidak memberi ruang bagi humor, kegagalan, dan absurditas itu sendiri. 

Bagian akhir puisi menegaskan sensasi terbenam: “Tuhan menimbun mereka di satu tempat. Aku dibawah mereka semua, mencari celah untuk bernapas.” Sebuah visualisasi yang sangat kuat tentang ketertindihan mental dan sosial. Di bawah tumpukan mayat-mayat makna dan ekspektasi, tokoh aku masih mencoba bernapas—masih mencoba hidup, dengan sisa-sisa kesadaran yang belum direnggut total. 

Rasanya banyak orang yang hari ini bertahan hidup bukan karena merasa hidup itu indah, tapi karena belum menemukan alasan kuat untuk berhenti. Mereka terus mencoba bernapas, bukan karena bebas, tetapi karena sadar bahwa berhenti berarti menyerah total pada absurditas itu sendiri. 

Puisi ini mungkin bukan hanya tentang satu orang. Ia adalah potret dari banyak manusia hari ini yang hidup dalam tekanan batin yang tidak terlihat. Jazuli Imam tidak memberi solusi. Ia hanya menyodorkan cermin: bahwa kita sering merasa asing di rumah sendiri, bahkan di dalam kepala sendiri. Dan mungkin, refleksi yang paling jujur adalah bertanya pada diri kita: siapa saja yang menggelar pesta di kepalamu hari ini? Apakah kamu diundang ke sana?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekomendasi Rute Perjalanan ke Banda Neira: Jakarta, Cirebon, Surabaya, Banda Neira

Refleksi Diri dalam Musik Novo Amor: Spiritual Journey Through New Love

Rekomendasi Rute Perjalanan dari Banda Neira ke Pulau Jawa

Melankoli dalam Hening: Menyelami Kenangan Bersama Cigarettes After Sex

Apakah ‘Aku Memang Begini’ Sudah Cukup Alasan untuk Tidak Berubah?

Mental Health - End The Stigma black magic: Potret Minimnya Literasi Kritis di Tengah Masyarakat Modern