Apakah ‘Aku Memang Begini’ Sudah Cukup Alasan untuk Tidak Berubah?

Apakah ‘Aku Memang Begini’ Sudah Cukup Alasan untuk Tidak Berubah?



Pernahkah kita merasa begitu terhubung dengan seseorang karena pengalaman pahit yang sama? Rasanya seperti menemukan cermin; seseorang yang tahu persis bagaimana rasanya terluka di titik yang sama. Dan lalu muncul pertanyaan: apakah rasa senasib itu cukup untuk menjadi alasan menjalin hubungan?

Ada yang bilang, luka yang sama bisa menyatukan. Mungkin benar. Tapi apakah kedekatan karena luka bisa jadi fondasi yang kokoh untuk sebuah hubungan? Mungkin iya—jika keduanya mau tumbuh bersama. Tapi bagaimana jika yang terjadi justru sebaliknya? Jika luka yang sama hanya menjadi tempat persembunyian dari kenyataan bahwa kita tidak benar-benar saling menyembuhkan?

Seringkali, orang yang merasa memiliki luka yang sama justru terburu-buru menyimpulkan bahwa hal itu sudah cukup untuk menyatukan mereka. Padahal, berbagi rasa sakit bukan berarti otomatis kita kompatibel. Proses penyembuhan dan pemahaman diri memerlukan waktu, kesabaran, dan introspeksi—tanpa itu, luka bersama justru bisa memperburuk keadaan, hubungan. 

Ketika kita melihat luka yang sama, dan segera menganggap itu sebagai jembatan untuk memahami mereka, tanpa menyadari bahwa setiap orang memiliki lapisan-lapisan yang rumit. Ketika penilaian hanya didasarkan pada apa yang tampak, kita bisa saja salah paham. Kita melewatkan detail-detail penting dari perjalanan batin mereka—bagian-bagian yang belum sembuh, konflik internal yang tersimpan, dan potensi untuk menyakiti karena ketidakseimbangan yang belum terselesaikan.

Mungkin, dalam keinginan kita untuk menghubungkan diri melalui rasa sakit yang serupa, kita malah menutupi realitas bahwa proses penyembuhan sejati adalah perjalanan panjang yang membutuhkan waktu, kejujuran, dan komunikasi yang mendalam. Dengan terburu-buru menyimpulkan dari apa yang tampak, kita berisiko salah membaca siapa mereka sebenarnya—dan kemudian, luka lama bisa saja membuka ruang bagi luka baru.

Lalu aku bertanya lagi: apakah kepribadian seseorang dapat menentukan baik atau tidaknya sebuah hubungan? Jawabannya, ya. Kepribadian membentuk cara kita mencintai, merespons konflik, dan berkomunikasi. Tapi kepribadian tidak selalu tentang “cocok atau tidak”—kadang, lebih penting apakah dua orang bisa saling belajar, menyesuaikan, dan tumbuh bersama.

Namun di titik ini, aku mulai meragukan keyakinanku sendiri. Bagaimana jika hanya satu pihak yang mau belajar? Bagaimana jika satu orang terus bertumbuh, sementara yang lain terus berdiri di tempat yang sama—atau malah mundur, membesar-besarkan masalah, menciptakan luka baru? Apakah kita harus terus bertahan atas nama cinta? Apakah kita harus terus berjuang sendiri?

Aku pernah percaya bahwa watak bisa berubah. Bahwa tidak ada sifat yang tidak bisa dilunakkan, jika ada kesadaran dan cinta yang cukup. Tapi bagaimana jika seseorang tidak mau berubah? Tidak mau belajar? Tidak mau melihat luka yang ditimbulkan?

Dan di sinilah aku sering mendengar kalimat itu—kalimat yang paling menyebalkan:

“Aku memang begini adanya.”

Sebuah kalimat yang terasa egois. Kalimat yang membungkus ketidakpedulian dengan dalih kejujuran. Kalimat yang tak lain adalah tameng dari seseorang yang ingin selalu menang, tanpa pernah bertanggung jawab atas rasa sakit yang ia ciptakan. Bagiku, itu bukan kejujuran. Itu keengganan untuk bertumbuh. Itu adalah bentuk lain dari kekerasan emosional yang dibungkus dengan nama “diri sendiri.”

Lalu aku bertanya: bagaimana menghadapi orang seperti itu?

Jawabannya, mungkin bukan tentang mengubah dia, tapi menjaga diriku sendiri. Menarik batas. Tidak menjadi penyelamat. Menerima kenyataan bahwa beberapa orang memang memilih untuk tidak berubah. Dan aku harus memilih: bertahan dalam luka, atau bangkit dan menyembuhkan diri.

Karena pada akhirnya, kekuatan tidak selalu ada pada mereka yang terus bertahan, tapi juga pada mereka yang berani melepaskan.

Jadi, ketika seseorang berkata “aku memang begini adanya”, mungkin yang perlu kita tanyakan bukan hanya “apakah aku bisa menerima dia?”, tapi juga: “Apakah aku masih bisa menerima diriku sendiri jika terus bersama dia?”

Mencintai orang lain memang penting. Tapi bagaimana jika dalam proses mencintai itu, kita kehilangan cara mencintai diri sendiri? Apakah itu masih cinta—atau bentuk pengabaian yang kita bungkus dengan kesetiaan?

Dan ya—ada beberapa tipe orang yang bisa kita anggap sebagai “red flag,” terutama dalam konteks seperti ini, di mana cinta sering kali menutupi akal sehat. Bukan berarti mereka tak layak dicintai, tapi mungkin bukan oleh kita, bukan dalam hubungan yang sehat.

Menurutku memang ada tipe-tipe orang red flag yang tidak harus kita cintai, apalagi dengan harapan bisa “menyelamatkan” mereka, seperti ini:

- Dia tahu dirinya menyakiti, tapi tetap berkata, “Aku memang begini.” Bukan karena dia tak tahu caranya berubah, tapi karena dia tak mau. Cinta tidak akan cukup jika perubahan hanya jadi beban di satu pihak. 

- Kemudian orang yang Menormalisasi Luka.

- Orang yang Tidak Punya Kesadaran Diri. Mereka yang tidak pernah introspeksi akan selalu menyalahkan. Dan jika kita berada di dekatnya terlalu lama, kita bisa mulai berpikir bahwa kitalah masalahnya.

- Orang yang Memanipulasi dengan Cinta. Dia bilang cinta, tapi membuat kita merasa bersalah saat kita ingin bahagia. Dia bilang cinta, tapi menuntut kita menerima semua sisi gelapnya tanpa batas. Padahal, cinta tanpa tanggung jawab menurutku adalah luka yang menyamar.

- Orang yang Membuat Kita Kehilangan Diri. Kalau mencintainya membuat kita kehilangan suara, jati diri, dan arah, itu bukan cinta—itu pembatalan diri secara perlahan. Dan tidak ada cinta yang sepadan dengan kehilangan seperti itu.

Cinta yang aku yakini ialah—cinta yang tidak menjadikan seseorang kehilangan martabat dan kemandirian. Cinta yang sehat justru membuat seseorang tumbuh, dihargai, dan diperlakukan setara. Kalau cinta hanya membuat seseorang tunduk, patuh tanpa suara, atau diperlakukan seperti objek, itu bukan cinta—itu kontrol, mungkin bahkan bentuk manipulasi atau kekuasaan yang disamarkan. Menurutku, "cinta yang baik" adalah yang memberdayakan. 

Jadi, apakah ada orang yang tak harus kita cintai? Ya. Mereka yang menolak berubah, merendahkan perasaan kita, dan membuat kita berhenti mencintai diri sendiri. Bukan karena mereka jahat. Tapi karena kita berhak untuk sembuh, tumbuh, dan dicintai dengan cara yang tidak menyakitkan. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rekomendasi Rute Perjalanan ke Banda Neira: Jakarta, Cirebon, Surabaya, Banda Neira

Refleksi Diri dalam Musik Novo Amor: Spiritual Journey Through New Love

Rekomendasi Rute Perjalanan dari Banda Neira ke Pulau Jawa

Melankoli dalam Hening: Menyelami Kenangan Bersama Cigarettes After Sex

Pesta di Kepala, Tuhan di Pinggir: Membaca Hidup dalam Puisi Jazuli Imam

Mental Health - End The Stigma black magic: Potret Minimnya Literasi Kritis di Tengah Masyarakat Modern