Gaya Hidup Baru Perempuan dalam Arus Kapitalisme
Gaya Hidup Baru Perempuan dalam Arus Kapitalisme
Sebuah usaha membebaskan diri dari ketakutan akan pendapat umum dan kutukan umum.
Kondisi sosial perempuan disetiap daerah pasti akan berbeda dengan daerah lainnya, apalagi di negara yang berbeda. Kondisi sosial yang dialami perempuan disetiap negara biasanya juga mendapat pengaruh dari nilai-nilai yang berlaku di lingkungan masyarakat tersebut. Kebudayaan juga mempengaruhi suatu kondisi sosial perempuan di suatu negara, yang kemudian akan mempengaruhi sikap sosial perempuan.
Beberapa bulan belakangan aku diberi kesempatan bertemu dan berbincang dengan banyak orang, mulai di gerbong kereta, kedai kopi, tempat kerja, tempat wisata, stasiun, pelabuhan, warung nasi, penginapan, trotoar, pokoknya dibanyak tempat. Obrolan yang sering berlangsung selama tiga hingga lima jam itu membuka pandangan dan penerimaan baru bagi kami. Obrolan ini tidak hanya dengan kawan-kawan muda, tapi dengan ibu-ibu dan bapak-bapak pula, termasuk dengan kawan backpacker dari Australia, Inggris, Perancis dan Spanyol yang tidak sengaja kutemui di warung kawasan pendakian atau pun di penginapan.
Sejauh kaki melangkah, pertanyaan mengenai status hubungan akan menjadi pengantar obrolan panjang yang akhirnya menyisakan banyak sekali pertanyaan baru. Kali ini aku masuk dalam beberapa obrolan mengenai sebuah hubungan sakral yang terus digaungkan. Sebagian dari kami berpendapat menikah, punya anak, adalah solusi mengatasi kesepian, sebagian lagi mengatakan itu tidak tepat. Aku termasuk salah satu yang mengatakan itu tidak tepat.
Di Indonesia, banyak sekali keluhan remaja yang capek dikit langsung pengen nikah agar bisa dinafkahi, liat video anak kecil lucu dikit langsung pengen punya anak. Disisi lain kami pun menyadari bahwa ada gaya hidup baru pada perempuan, yaitu keputusan untuk tidak menikah. Tidak ada yang salah, semua itu harapan masing-masing individu. Memilih menikah atau tidak menikah, manjadi biarawati/biarawan, Bhikkhu/ bhikkhuni, bercerai atau sebagainya itu adalah hak atau pilihan yang bisa diambil setiap individu. Tidak ada yang berhak menghakimi pilihan tersebut sepanjang mereka bahagia menjalaninya.
Perempuan yang memilih untuk tidak menikah, mereka cenderung untuk menukar tujuan dan nilai hidupnya ke arah nilai dan tujuan serta gaya hidup baru yang berorientasi pada pekerjaan, kesuksesan dalam karir dan kesenangan pribadi, tuntutan menikah yang datang dari lingkungan sekitar dan seringnya mengakibatkan stress akan berkurang karena perempuan mulai menyesuaikan diri dengan gaya hidup barunya.
Tapi celakanya di Indonesia sendiri, khususnya di desa, kesuksesan perempuan baik dari segi pendidikan dan juga karir tidak menjadikan perempuan mampu mengambil keputusan sendiri untuk menikah. Ketergantungan pada keputusan laki-laki dan menunggu kepastian hubungan, serta kriteria calon suami ideal yang sudah ditentukan keluarga karena dianggap telah sukses secara karir. Memaknai hal tersebut dalam pandangan feminism marxis, keluarga justru menjadi tempat utama terjadinya penindasan melalui perkawinan dan penguasaan laki-laki terhadap hak-hak sosial perempuan.
Pada masa sekarang ini bisa dikatakan perempuan berhasil tampil dan berpartisipasi diranah publik. Seperti padangan dalam teori feminisme liberal dimana perempuan sudah seharusnya melakukan pengembangan diri dalam pekerjaan-pekerjaan kreatif di ranah publik. Dalam hal ini perempuan memiliki hak yang sama di dalam mengakses pendidikan, sosial, ekonomi, dan pekerjaan di ranah publik. Tapi celakanya, usaha perempuan yang sangat gigih dalam mengembangkan kualitas diri tersebut tidak bersambut, karena pandangan keluarga dan lingkungan sekitar yang menganggap perempuan “belumlah sempurna” apabila belum melakukan pernikahan dan memiliki anak.
Kami berpendapat bahwa beberapa institusi di negara ini juga turut andil melanggengkan budaya patriarki. Salah satu bentuk budaya patriaki yang menyudutkan posisi perempuan adalah standar usia ideal bagi perempuan untuk melakukan perkawinan. Standar usia ideal perkawinan ini lahir dari pandangan masyarakat yang masih memandang perempuan posisinya ada di ranah domestik, sehingga menikah adalah salah satu kewajiban bagi perempuan untuk disegerakan. Usia dan kesehatan reproduksi juga menjadi salah satu alasan yang memaksa perempuan untuk melakukan perkawinan di usia ideal. Sementara perempuan yang memiliki keinginan tidak menikah dipandang aneh. Padahal kita hanya memilih untuk mengambil suka duka kehidupan ini di jalan yang berbeda.
Banyak dari tokoh feminisme yang mengkritik hubungan atau cinta romantis dan menolak adanya institusi pernikahan secara terang-terangan seperti Emma Goldman, Simone de Beauvoir, Andrea Dworkin, Kate Millet, dan lainnya menolak institusi pernikahan karena dianggap sebagai pusat operasi pada berbagai bidang kehidupan perempuan mulai dari ekonomi, politik, sampai kehendak bebas (free will) dari perempuan ketika memilih untuk menikah. Lebih jauh lagi Simone de Beauvoir memandang konsep pernikahan atau keluarga memberikan batasan eksistensi bagi perempuan yang merdeka dan melahirkan beragam permasalahan sosial yang membelenggu kebebasan perempuan serta melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan. Tapi dari beberapa pendapat orang yang kutemui, hal tersebut tidak akan dialami perempuan jika ia memiliki teman hidup yang memiliki pemikiran atau gagasan yang setara dan saling mendukung.
Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan kolektivis yang lebih kuat, di daerah mana pun, jika dibandingkan dengan beberapa negara di Eropa. Oleh sebab itu, bagi masyarakat Indonesia norma dan budaya masih kuat melekat dan menjadi keharusan yang kuat bagi anggotanya untuk dipatuhi, termasuk pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu perhelatan budaya yang sangat dihargai oleh hampir seluruh anggota etnis dan juga budaya di Indonesia, dan setiap orang diharapkan untuk memasuki jenjang pernikahan di usia dewasanya. Perempuan dewasa yang belum melakukan pernikahan dan tinggal dalam budaya yang mengharapkan untuk menikah, akan mendapatkan tekanan dari orang tua dan teman temannnya untuk segera menikah (Hurlock, 2002).
Kecenderungan budaya patriarkis pada masyarakat Indonesia telah memposisikan perempuan untuk didorong menjadi ibu dan istri dalam sebuah keluarga, agar dapat dihargai sebagai anggota masyarakat sepenuhnya. Dalam budaya tersebut, setiap keluarga akan tetap menyarankan anak perempuannya untuk menikah (Kumalasari, 2007). Dalam pandangan masyarakat patriarki, perempuan itu tidak sempurna apabila tidak menikah dan memiliki anak. Lahirnya pandangan tersebut, dikarenakan perempuan secara kodratnya diciptakan dengan rahim dan payudara. Sehingga masyarakat memandang bahwasanya melahirkan dan melakukan tugas reproduksi merupakan tugas dan kewajiban perempuan dan tidak diberikan kesempatan untuk memilih (Safira, 2019).
Faktanya prinsip perempuan yang tidak ingin menikah pun akhirnya tertikis oleh tekanan orang tua, keluarga dan lingkungannya yang terjadi terus-menerus. Beberapa hal yang sering dijadikan pertimbangan antara lain, umur orang tua yang semakin bertambah, sehingga dalam masa hidupnya ia punya keinginan untuk melihat anaknya menikah dan bahagia, mau tidak mau perempuan harus terpaksa menikah sebagai bentuk bakti kepada orang tuanya, padahal belum tentu pernikahan itu akan membawanya pada taraf kebahagiaan yang masing-masing prinsipi. Hubungan antar orang tua yang mengikat atas dasar pengabdian dan balas budi karena sudah melahirkan, membesarkan, seolah jadi hukum timbal balik yang wajib dipenuhi dengan iming-iming surga dan ancaman neraka. Belum lagi dogma-dogma agama yang dijadikan orang-orang untuk menghakimi keputusan orang lain, termasuk anjuran menikah karena manusia sudah diciptakan berpasang-pasangan, kemudian ancaman dosa dan neraka karena tidak mengikuti sunnah Nabi. Basis massa ini masih sangat terbatas karena terkendala baik dari sisi budaya dan dogma keagamaan yang disimpangi luar biasa.
Tapi disisi lain, gaya hidup baru pada perempuan yang memutuskan tidak menikah ini tampaknya menjadi kabar baik bagi sistem kapitalisme. Data statistik BPS (2022) menunjukkan bahwa angka partisipasi perempuan di dunia kerja cenderung tertinggal dibandingkan laki-laki. Menurunnya partisipasi kerja perempuan sebagian besar terjadi sejak perempuan menikah, karena adanya larangan dari suami untuk istri bekerja, atau ingin fokus mengasuh anak. Sehingga menunda pernikahan bagi perempuan artinya memungkinkan adanya peningkatan partisipasi perempuan di dunia kerja yang dapat membantu pertumbuhan ekonomi negara. Namun kedepannya, tenaga kerja berpotensi berkurang dan akan menghambat proses produksi, jadi bisa jadi keputusan untuk menikah atau tidak sebenarnya didorong oleh sistem kapitalisme yang dampaknya bisa jadi terstruktur.
Di Indonesia, beberapa syarat lowongan pekerjaan ada batasan umur maksimal dua lima dan belum menikah. Sementera BKKBN mengatakan bahwa usia ideal menikah untuk perempuan di umur dua satu dan laki-laki dua lima, jadi kita seringkali menghadapi banyak hal yang bersinggungan. Belum lagi syarat harus berpengalaman dibidang yang sama minimal dua tahun, termasuk syarat tinggi badan dan berpenampilan menarik. Semua itu bisa jadi pertimbangan yang menumbuhkan gaya hidup baru bagi perempuan yang tidak ingin menikah ketika sudah menginjak usia dua tujuh hingga tiga puluh, apalagi jika ia sudah mempunyai karir dan penghasilan yang cukup.
Adanya kesetaraan yang memberikan kesempatan perempuan turut andil tampil dalam berkreasi diranah publik berdampak pada peningkatan partisipasi pekerja perempuan. Sehingga sekarang ini dibeberapa pabrik hampir seluruh pekerja didominasi oleh perempuan. Dalam meningkatkan jumlah angkatan kerja dan produktifitas ibu bekerja, pemerintah pun tengah berupaya memperbanyak fasilitas daycare termasuk sistem full day school. Apakah benar eksploitasi perempuan tersamar oleh kesetaraan gender? Aduh 😅
Dari bahasan yang entah dari mana awal dan kemana ujungnya ini, cukuplah kita sadari bahwa emansipasi sejati berawal dari dalam “jiwa perempuan”. Emansipasi perempuan harus datang dari dan melalui dirinya sendiri. Pertama dengan menegaskan dirinya sebagai sosok pribadi, dan bukan sebagai komoditas seksual. Kedua, dengan menolak hak setiap orang atas tubuhnya: dengan menolak membesarkan anak, kecuali dia sendiri yang menginginkannya, berusaha memahami makna dan substansi hidup beserta segala kompleksitasnya, dengan membebaskan dirinya dari ketakutan akan pendapat umum dan kutukan umum.
I like ❤
BalasHapus