Mental Health - End The Stigma black magic: Potret Minimnya Literasi Kritis di Tengah Masyarakat Modern
Mental Health - End The Stigma black magic: Potret Minimnya Literasi Kritis di Tengah Masyarakat Modern

Di zaman yang katanya serba canggih ini, di mana informasi bisa diakses hanya dengan satu ketukan jari, ternyata masih banyak dari mereka yang memilih percaya pada hal-hal mistis daripada berpikir kritis. Dalam perspektif psikologi, perubahan sikap bukanlah hal yang muncul tiba-tiba tanpa sebab. Ia adalah hasil dari berbagai dinamika internal maupun eksternal yang saling bertaut. Seseorang bisa berubah karena pengalaman traumatis, tekanan emosional yang menumpuk, atau karena proses pembelajaran yang membuka cara pandangnya terhadap dunia. Sayangnya, perubahan seperti ini sering kali tidak dimengerti oleh mereka yang masih terbiasa menilai seseorang dari tampak luarnya saja.
Ada banyak alasan mengapa seseorang tiba-tiba menjadi pendiam, menarik diri, atau menunjukkan sikap yang dianggap “berbeda”. Bisa jadi ia sedang mengalami kecemasan yang tak mampu ia jelaskan. Bisa jadi ia sedang menyimpan trauma masa kecil yang muncul kembali karena pemicu tertentu. Atau mungkin, ia hanya sedang merasa lelah dengan ekspektasi sosial yang tidak memberi ruang untuk bernapas. Namun, ketika mereka tak terbiasa mengenal istilah seperti burnout, depresi, atau trauma antar-generasi, maka perubahan sikap itu mudah disalahpahami sebagai sesuatu yang gaib, menyimpang, bahkan membahayakan.
Mereka sering lupa bahwa manusia bisa lelah, bisa ingin sendiri, atau bisa mengalami tekanan yang berat. Tapi di tengah masyarakat yang masih banyak dipengaruhi oleh budaya konservatif, perubahan seperti itu kadang dianggap tidak wajar. Ada standar-standar perilaku tertentu yang dianggap “normal”, dan siapa pun yang berbeda dari itu mudah dicurigai. Mereka mencari penjelasan yang ajaib, lalu menghubungkannya dengan hal-hal gaib. Padahal, bisa jadi yang dibutuhkan hanyalah ruang untuk bicara atau sekadar didengarkan, mencari tahu apa yang sebenarnya dikehendaki individu tersebut.
Dalam konteks yang lebih luas, beban mental sering kali diwariskan secara tak sadar dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang tua yang tak pernah dipulihkan dari lukanya cenderung—tanpa sadar—melemparkan beban itu pada anak-anaknya. Anak kemudian tumbuh dengan tekanan yang tidak ia mengerti, dan pada akhirnya menunjukkan perilaku yang dianggap “aneh” oleh lingkungan. Namun, alih-alih ditanya apa yang sebenarnya terjadi, ia justru distigma, dijauhi, atau dibawa ke orang pintar.
Sikap juga bisa berubah karena seseorang mulai mengalami perluasan wawasan. Membaca buku, berdialog dengan orang yang berbeda pandangan, atau sekadar menonton tayangan yang membuka perspektif baru, bisa mengubah cara seseorang memandang hidup. Ia mungkin mulai mempertanyakan nilai-nilai yang dulu ia anut tanpa pikir panjang, dan mulai mencari cara hidup yang lebih sesuai dengan dirinya. Tapi di tengah masyarakat yang belum terbiasa menerima pemikiran kritis, perubahan seperti ini bisa memicu kecemasan sosial. Karena mereka terbiasa dengan keteraturan, mereka jadi takut pada yang asing. Dan karena takut, mereka menyerang, menuduh, dan mencari kambing hitam.
Maka, perubahan sikap bukanlah hal yang bisa dipahami secara sederhana. Ia adalah hasil dari pergulatan batin, pencarian makna, dan sering kali—perlawanan sunyi terhadap tekanan sosial yang tidak memberi ruang untuk berbeda. Bila masyarakat tidak membekali diri dengan pemahaman psikologis dasar dan empati yang cukup, maka mereka akan terus terjebak dalam pola pikir lama: bahwa yang berubah pasti salah, dan yang berbeda pasti mengganggu.
Budaya konservatif di sekitar mereka sering kali menjunjung tinggi citra keluarga, norma sosial, dan kepatuhan terhadap adat. Dalam atmosfer seperti ini, penyimpangan sekecil apa pun dari yang dianggap “ideal” bisa menimbulkan kekacauan. Maka, ketika seseorang dianggap melenceng, mereka cenderung mencari kambing hitam. Daripada berpikir bahwa mungkin ada konflik atau luka batin yang belum selesai, mereka sering kali mencari orang pintar, ustaz ruqyah, atau mengaitkannya dengan hal-hal mistis, tentang amalan-amalan yang tidak jelas maksudnya. Mereka melabeli orang lain tanpa benar-benar tahu apa yang sedang dialami.
Lebih jauh, budaya konservatif sering kali mempertahankan nilai-nilai lama tanpa mempertanyakan relevansinya dengan konteks kekinian. Perilaku ‘menyimpang’ dari norma dianggap bukan sebagai ekspresi individu, melainkan sebagai ancaman terhadap harmoni kolektif—yakni kondisi sosial di mana setiap orang diharapkan berpikir, bertindak, dan menjalani hidup dengan cara yang seragam demi menjaga ketenangan bersama. Dalam pandangan ini, ketertiban sosial lebih diutamakan daripada kebebasan berpikir atau mengekspresikan diri. Maka, siapa pun yang menunjukkan perbedaan, baik dalam perilaku, cara berpikir, maupun pilihan hidup, bisa dianggap mengganggu keseimbangan. Untuk meredam kekacauan tersebut, mereka sering kali memilih jalan pintas: menuduh, menstigma, atau melemparkan kesalahan pada hal-hal gaib.
Orang-orang yang gemar membaca dan terbuka pada diskusi sering kali mengalami perkembangan dalam cara berpikir, memahami dunia, dan menilai ulang nilai-nilai yang dulu mereka anut. Proses ini wajar dalam perkembangan intelektual—mereka mulai menyadari bahwa hidup tidak selalu hitam-putih. Namun, di mata masyarakat yang minim literasi dan masih terkungkung dalam pemahaman tunggal tentang “kebenaran”, perubahan cara berpikir seperti ini dianggap aneh, bahkan menakutkan. Seseorang yang mulai mempertanyakan tradisi, membicarakan kesehatan mental, atau berbicara tentang pilihan hidup bisa langsung dicap sebagai “keluar dari nilai-nilai”, “membangkang”, bahkan “kerasukan pemikiran asing”. Ini mencerminkan betapa literasi yang rendah bisa menciptakan ketakutan terhadap hal-hal yang berbeda dan menghambat kebebasan berpikir individu.
Fenomena ini menunjukkan bahwa mereka masih perlu banyak belajar tentang literasi kesehatan mental, tentang pentingnya komunikasi, dan tentang berani menghadapi kenyataan. Ketika seseorang dianggap aneh, mereka lebih sering menyimpulkan “dia kena guna-guna” daripada bertanya, “Apa kamu baik-baik saja?” Bahkan saat seseorang membaca doa dengan khusyuk, mereka bisa curiga, “Jangan-jangan dia punya sesuatu…” Padahal, mungkin dia hanya sedang mencari ketenangan.
Di sinilah pentingnya literasi kritis dan empati. Tanpa kemampuan untuk memahami konteks psikologis dan sosial seseorang, mereka mudah mengisi kekosongan pemahaman dengan asumsi yang mengakar dari warisan budaya lama. Sementara budaya bisa menjadi kekuatan yang mempererat, ia juga bisa mengekang jika tidak disandingkan dengan kemampuan berpikir terbuka. Harmoni sejati tidak akan tercipta jika ia dibangun di atas ketakutan dan penyeragaman yang menekan.
Mereka tak bisa mengendalikan keinginan seseorang, tak bisa membuatnya “taat”, dan itu menakutkan. Maka orang itu harus “sakit”, harus “terpengaruh sesuatu”, supaya mereka tetap merasa benar dan orang itu tetap bisa mereka “perbaiki”.
Salah satu gejala paling menyakitkan dari masyarakat yang menolak berpikir kritis adalah obsesi untuk selalu merasa benar. Di lingkungan yang tidak membuka ruang bagi keragaman pandangan, “kebenaran” sering kali dikunci rapat dalam satu versi tunggal—versi mayoritas, versi keluarga, versi norma sosial. Maka, ketika ada individu yang berpikir berbeda, membuat pilihan hidup yang tak sesuai harapan, atau menyampaikan luka batinnya dengan jujur, respons yang muncul bukan empati, melainkan tekanan.
Tekanan itu bisa hadir dalam bentuk tuduhan, desakan untuk mengakui kesalahan, hingga pemaksaan untuk tunduk pada narasi yang tidak sesuai dengan pengalaman dan keyakinan pribadi. Seseorang bisa ditekan habis-habisan agar mengiyakan bahwa dirinya “tersesat”, “sakit”, atau “dipengaruhi sesuatu”—hanya karena tidak sejalan dengan persepsi kolektif. Ini bukan lagi soal kebenaran, tetapi soal kekuasaan: kekuasaan untuk mengendalikan kenyataan orang lain agar tetap sesuai dengan kerangka nilai yang mereka anggap mapan.
Lebih menyedihkan lagi, dalam banyak kasus, tekanan semacam ini justru datang dari orang-orang terdekat—keluarga, kerabat, atau komunitas yang merasa paling tahu tentang “mana yang benar dan salah”. Mereka enggan mengakui bahwa cara pandang mereka mungkin sudah tidak relevan. Mereka menolak untuk bercermin karena itu berarti mengakui bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem yang selama ini mereka anggap benar. Maka, mereka lebih memilih untuk menganggap orang lain “terpengaruh ilmu hitam” daripada menerima bahwa seseorang bisa berubah karena berpikir dan merasa.
Padahal, dalam dunia yang terus berkembang, setiap individu punya hak untuk meredefinisi makna hidupnya sendiri. Seseorang bisa berubah karena membaca, karena menyadari bahwa dirinya selama ini hidup dalam tekanan, atau karena merasa tidak lagi bisa bertahan dalam hubungan yang menyakitkan. Tapi di mata masyarakat yang menolak perbedaan, perubahan itu dianggap ancaman. Mereka tidak bisa membedakan antara keberanian untuk memilih dan kebingungan karena kerasukan. Dalam sistem semacam itu, kebenaran bukan lagi sesuatu yang dicari bersama, tetapi alat untuk menundukkan dan membungkam.
Akan menjadi sebuah kemajuan besar bila mereka—keluarga, komunitas, atau lingkungan sosial—berhenti memaksa orang untuk menjadi seperti yang mereka inginkan, dan mulai belajar memahami alasan di balik pilihan hidup orang lain. Demikian pula, individu yang merasa tertolak dan terkucilkan bisa lebih mudah membuka ruang komunikasi jika mereka tidak lagi disudutkan, disalahkan, atau dicurigai. Dalam titik ini, saling menerima bukan berarti sepakat dalam segala hal, tapi mampu hidup berdampingan tanpa saling menyakiti.
Saling menerima berarti mengakui bahwa tidak semua orang berjalan di jalur yang sama. Nilai yang dianggap suci bagi satu pihak mungkin tidak relevan bagi pihak lain, dan itu bukanlah ancaman—itu realitas manusia yang kompleks. Dalam penerimaan, tidak lagi ada pemaksaan untuk "kembali ke jalan yang benar", atau dorongan untuk "mengaku salah", tetapi ada keikhlasan untuk mengatakan:
"Kami mungkin tak sepenuhnya mengerti, tapi kami percaya bahwa kamu tahu apa yang kamu butuhkan."
Jika mereka mulai berani melepaskan obsesi akan kontrol, dan individu diberi ruang untuk menjelaskan dirinya tanpa rasa takut, maka jembatan itu bisa dibangun. Tidak semua luka akan sembuh seketika, tetapi prosesnya akan jauh lebih manusiawi dibanding saling menyalahkan tanpa henti.
Dalam dunia yang penuh perbedaan, saling menerima adalah bentuk paling murni dari kematangan budaya dan spiritual. Bukan lagi siapa paling benar, tapi siapa paling mampu mendengarkan. Bukan lagi siapa yang menang, tapi siapa yang memilih tidak melukai.
Karena itulah, betapa pentingnya bertanya sebelum menuduh. Penting menanyakan dengan jujur dan penuh empati: "Apa yang telah terjadi? Apa yang membuatmu memutuskan seperti ini?" Kita tidak selalu harus mampu memahami seluruh alasan di balik keputusan seseorang, karena setiap individu membawa latar belakang, luka, dan pergulatannya masing-masing. Tapi paling tidak, kita bisa memberi ruang—ruang untuk memilih, ruang untuk menjelaskan diri, dan yang terpenting, ruang untuk dihargai sebagai manusia yang utuh. Dimana menjadi manusia seharusnya berarti merdeka: merdeka berpikir, merdeka memilih jalan hidupnya, dan merdeka untuk menjadi dirinya sendiri.
Komentar
Posting Komentar